Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

IPIN


Ruang Menulis Cerita Anak

IPIN

Namaku Ipin, hanya Ipin tidak kurang tidak lebih, entah kenapa emak dan abah seolah enggan memberi nama yang panjang untukku berbeda dengan dua kakakku yang mempunyai nama cukup panjang Anisa Larasati dan Asep Setiadi. Berbedakan dengan namaku, Ipin, entah nama itu terinspirasi dari film Ipin dan Upin hehehe.

Aku lahir di pinggiran ibukota, rumahku hanya sepetak dan itu di kolong jembatan, usiaku 11 tahun, meski hidup serba kekurangan emak dan abah menyuruh kami tetap sekolah, aku kelas 5 SD, kak Anisa kelas 9 dan bang Asep kelas 7.

Emak dan abah setiap hari mencari rongsokan, kami sering membantu emak dan abah setelah pulang sekolah. Bahkan teman-temanku sering membantu dengan cara memberikan botol kemasan yang telah habis diminumnya, malah Michael anak seorang pengusaha, sering memberiku botol-botol bekas kadang satu kantong plastik besar. Jadi aku tidak perlu cape keliling kampung mencari botol bekas.

Teman-teman dan bapak ibu guru tempat aku bersekolah tau aku sering mencari rongsokan, aku tidak malu karena itu pekerjaan halal dan teman-temanku tidak ada yang meledek atau menghinaku. Karena aku termasuk anak yang pintar, ini menurut guru dan teman-temanku.

Aku sadar diri, orang tuaku tidak seperti orang tua mereka yang hidupnya mapan dan banyak yang diantar jemput pakai mobil atau motor. Bahkan baju seragam serta peralatan sekolah sering dikasih oleh mereka, meski bekas masih bagus untuk dipakai.

Aku tidak merasa minder atau iri dengan kehidupanku, aku bersyukur karena tidak pernah kekurangan makan, dan aku punya tabungan sampai bisa membeli sepeda meski bekas. Ya, rongsokan yang aku kumpulkan dijual ke juragan rongsok, tempat Abah menjual rongsokan, pak haji Komar namanya, meski bicara suka keras pak Komar sangat baik, aku sering dikasih uang lebih dan aku tabungkan.

Kadang aku merasa sedih ketika teman-temanku membuang bekal makannya, mereka tidak menghabiskan makanannya dan lebih memilih jajanan yang ada di sekolah, aku sering melihat lauk pauk yang mereka bawa, makanan yang jarang sekali aku makan, seperti, nuget, spaghetti, burger, daging, ayam bakar dan banyak lagi yang lainnya. Kadang aku ngiler melihat mereka makan, rasanya seperti apa ya? Mungkin lidahku tidak akan cocok dengan makanan mereka.

Ketika mereka membuang makanan, aku ingin berteriak, "jangan buang makanan, diluar sana masih banyak yang kekurangan makanan" sayangnya aku tidak berani untuk menasehati mereka.

Emak selalu berpesan pada  kami, agar mensyukuri makanan yang ada di depan mata, ambil secukupnya bila masih lapar ambil lagi, jangan ada makanan sisa karena itu mubazir. Emak dan abah harus bekerja dari pagi sampai sore untuk memberi kami makanan.


Aku selalu ingat pesan emak, setiap makan aku tidak pernah bersisa, habis tanpa sisa. Ketika melihat teman-temanku membuang makanan kadang tak terasa aku menangis, bukan lebay tapi mereka tidak mensyukuri nikmat yang diberikan Allah lewat makanan.

Aku sering makan dengan tempe, tahu, sayur bening, telur seminggu satu kali, kalau makan daging itu satu tahun sekali waktu idul adha, emak akan memasak masakan yang enak yaitu semur daging.

Meski hidup terbatas bahkan serba kekurangan, emak dan abah selalu mengajari kami tentang rasa syukur, aku bangga punya emak dan abah seperti mereka.

Teman-teman, aku punya pesan untuk kalian, makanan jangan dibuang ya, ambil secukupnya dulu kalau masih lapar boleh nambah, daripada ambil banyak malah tidak habis kan sayang, aku juga mau kalau dikasih. Hehehe.

 

Ini pengalaman  hidupku teman-teman, aku tunggu cerita teman-teman yang pasti seru. Dah dulu ya, Ipin mau tidur soalnya besok Ipin harus sekolah.

 

 Kembali

Halaman
1

 © 2020-2023 - Putrikaila1919. All rights reserved